Jika pendidikan dimaknai sebagai sebuah proses, maka jangan terlalu banyak berharap akan ada sebuah akhir. Sebagaimana maxim Arab yang mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah sebuah proses pencaharian seumur hidup (min al-mahdi ila al-lahdi), makacommon believes dan energi para pendidik seharusnya lebih berorientasi dan mencintai prosesnya. Tetapi karena ada ilmu ukur, maka pendidikan pun menjadi sumir karena tak jarang para pendidik lebih mengejar hasil (result oriented) tinimbang mencintai prosesnya. Tujuan, hakikat dan pemaknaan pendidikan yang serba hasil ini memperlihatkan lemahnya sistem pendidikan yang dibangun, sehingga elan dasar pendidikan kita seakan tak pernah bertemu dengan jiwa atau ruh yang selalu menjadi batang tubuh pendidikan nasional, yaitu “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” (UU No 20/2003 tentang Sisdiknas).
Sangat tidak mungkin rasanya jika pembuktian seluruh agenda pendidikan nasional seperti tertera dari tujuan di atas diselesaikan oleh sebuah mata rantai yang bernama ujian nasional (UN) sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Hampir semua indikator dan tujuan pendidikan nasional di atas adalah sebuah nafas panjang dari sebuah usaha dan proses yang tidak akan pernah berakhir (never ending process), karena hampir semua pilihan kata yang digunakan adalah kata sifat (adjective) yang menuntut usaha secara terus menerus.
Kesadaran terhadap proses pendidikan dan proses belajar-mengajar yang benar harus bersinergi secara positif dengan keyakinan setiap pendidik bahwa untuk menjadikan anak bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tak cukup hanya dengan, misalnya, mengujinya dengan secarik kertas ujian tentang sifat Tuhan. Proses yang benar adalah upaya untuk memastikan bahwa interaksi personal dan inter-personal seorang anak dengan guru, orangtua dan lingkungannya tumbuh dari pengetahuan yang dia peroleh secara benar, membiasakannya secara terus menerus dalam konteks budaya sekolah yang sehat, memperoleh teladan yang tiada henti dari guru, orangtua dan lingkungannya, serta adanya kendali moral yang akan tumbuh secara bersamaan dari dalam dan luar diri mereka sendiri.
Jika para pendidik kita memiliki visi yang sama dalam menempatkan proses sebagai unsur paling penting dari sebuah sistem pendidikan, maka dapat dipastikan para siswa dan orangtua tak akan pernah takut ketika dihadapkan oleh sebuah ujian. Bahkan dalam jangka panjang, proses pendidikan yang benar, aktif dan menyenangkan dapat menumbuhkan sekaligus mengembangkan watak anak untuk menjadi manusia yang fleksibel, terbuka, tegas, toleran, sportif, setia kawan, berani mengambil resiko, dan memiliki Integritas.
Akan sangat sulit rasanya watak dan sifat seperti di atas bisa berkembang jika pikiran dan perasaan siswa, guru dan orangtua selalu diperangkap oleh fakta tentang ujian nasional yang seakan sebagai malaikat pencabut nyawa. Dalam perspektif ilmu pengukuran (measurement) dengan beragam variasi dan fenomenanya, UN sering dinisbahkan kepada hal-hal yang berkaitan dengan kualitas sekolah. Padahal sebagai sebuah metode, UN bisa jadi semata-mata berorientasi untuk melihat akuntabilitas sekolah secara parsial, dan lalai dalam menjaga proses belajar-mengajar yang aktif dan menyenangkan.
tulah sebabnya mengapa kebijakan soal UN tetap saja kontroversial dilihat dari sudut kebutuhan penubuhan visi dan filosofi pendidikan secara luas. Dalam konteks high stakes testing, muasal kesalahan adalah rendahnya kemampuan otoritas pendidikan dalam menerjemahkan filosofi dan visi pendidikan bangsa. Dari sudut filosofi pendidikan, pembicaraan tentang arti dan nilai (meaning and value) pendidikan seakan selalu berakhir dengan adanya model evaluasi semacam UN. Dialektika antara otoritas pendidikan, sekolah, masyarakat dan siswa seharusnya mencerminkan visi dan filosofi pendidikan yang sehat, yang lebih menghargai proses yang benar, aktif dan menyenangkan. Tetapi kebijakan soal UN malah memperpendek visi pendidikan menjadi sekedar tumpukan soal dan membuang lebih banyak waktu untuk melakukan drilling dalam rangka mempersiapkan siswa mereka dalam menghadapi ujian (Jones: 1999).
Fakta dari hasil riset di banyak negara juga membuktikan bahwa masalah yang sering muncul dengan kebijakan semacam UN adalah sulitnya menilai indikator keberhasilan setiap sekolah karena hasil tes mengalami banyak perubahan dari tahun ke tahun, terutama jika dikaitkan dengan capaian prestasi siswa(Linn & Haug, 2002). Dari aspek statistik, pola semacam UN juga cenderung tak dapat memenuhi kepuasan seluruh stakeholder pendidikan mengingat pencatatan tak dapat dijadikan jangkar dalam menilai aspek non-pedagogis yang seharusnya masih menjadi bagian dari tanggungjawab guru dan sekolah terhadap para siswa.
Pendek kata, UN sebenarnya laksana jangkar kapal untuk bersandar, yang dihempaskan kelaut dan membuat kapal tak bisa bergerak maju kecual bergoyang ditempat. Padahal jika jangkar dilepas dan mesin dihidupkan, maka kapal dan seluruh isinya akan tersadar betapa luasnya laut biru dengan gelombang dan ombak yang akan selalu menguji seluruh isi kapal. Menikmati dentum dan deburan ombak sesungguhnya sebuah proses alamiah yang seharusnya bisa dinikmati oleh seluruh awak kapal. Itulah makna sejati pendidikan sebagai sebuah proses yang tiada akhir.
Sangat tidak mungkin rasanya jika pembuktian seluruh agenda pendidikan nasional seperti tertera dari tujuan di atas diselesaikan oleh sebuah mata rantai yang bernama ujian nasional (UN) sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Hampir semua indikator dan tujuan pendidikan nasional di atas adalah sebuah nafas panjang dari sebuah usaha dan proses yang tidak akan pernah berakhir (never ending process), karena hampir semua pilihan kata yang digunakan adalah kata sifat (adjective) yang menuntut usaha secara terus menerus.
Kesadaran terhadap proses pendidikan dan proses belajar-mengajar yang benar harus bersinergi secara positif dengan keyakinan setiap pendidik bahwa untuk menjadikan anak bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tak cukup hanya dengan, misalnya, mengujinya dengan secarik kertas ujian tentang sifat Tuhan. Proses yang benar adalah upaya untuk memastikan bahwa interaksi personal dan inter-personal seorang anak dengan guru, orangtua dan lingkungannya tumbuh dari pengetahuan yang dia peroleh secara benar, membiasakannya secara terus menerus dalam konteks budaya sekolah yang sehat, memperoleh teladan yang tiada henti dari guru, orangtua dan lingkungannya, serta adanya kendali moral yang akan tumbuh secara bersamaan dari dalam dan luar diri mereka sendiri.
Jika para pendidik kita memiliki visi yang sama dalam menempatkan proses sebagai unsur paling penting dari sebuah sistem pendidikan, maka dapat dipastikan para siswa dan orangtua tak akan pernah takut ketika dihadapkan oleh sebuah ujian. Bahkan dalam jangka panjang, proses pendidikan yang benar, aktif dan menyenangkan dapat menumbuhkan sekaligus mengembangkan watak anak untuk menjadi manusia yang fleksibel, terbuka, tegas, toleran, sportif, setia kawan, berani mengambil resiko, dan memiliki Integritas.
Akan sangat sulit rasanya watak dan sifat seperti di atas bisa berkembang jika pikiran dan perasaan siswa, guru dan orangtua selalu diperangkap oleh fakta tentang ujian nasional yang seakan sebagai malaikat pencabut nyawa. Dalam perspektif ilmu pengukuran (measurement) dengan beragam variasi dan fenomenanya, UN sering dinisbahkan kepada hal-hal yang berkaitan dengan kualitas sekolah. Padahal sebagai sebuah metode, UN bisa jadi semata-mata berorientasi untuk melihat akuntabilitas sekolah secara parsial, dan lalai dalam menjaga proses belajar-mengajar yang aktif dan menyenangkan.
tulah sebabnya mengapa kebijakan soal UN tetap saja kontroversial dilihat dari sudut kebutuhan penubuhan visi dan filosofi pendidikan secara luas. Dalam konteks high stakes testing, muasal kesalahan adalah rendahnya kemampuan otoritas pendidikan dalam menerjemahkan filosofi dan visi pendidikan bangsa. Dari sudut filosofi pendidikan, pembicaraan tentang arti dan nilai (meaning and value) pendidikan seakan selalu berakhir dengan adanya model evaluasi semacam UN. Dialektika antara otoritas pendidikan, sekolah, masyarakat dan siswa seharusnya mencerminkan visi dan filosofi pendidikan yang sehat, yang lebih menghargai proses yang benar, aktif dan menyenangkan. Tetapi kebijakan soal UN malah memperpendek visi pendidikan menjadi sekedar tumpukan soal dan membuang lebih banyak waktu untuk melakukan drilling dalam rangka mempersiapkan siswa mereka dalam menghadapi ujian (Jones: 1999).
Fakta dari hasil riset di banyak negara juga membuktikan bahwa masalah yang sering muncul dengan kebijakan semacam UN adalah sulitnya menilai indikator keberhasilan setiap sekolah karena hasil tes mengalami banyak perubahan dari tahun ke tahun, terutama jika dikaitkan dengan capaian prestasi siswa(Linn & Haug, 2002). Dari aspek statistik, pola semacam UN juga cenderung tak dapat memenuhi kepuasan seluruh stakeholder pendidikan mengingat pencatatan tak dapat dijadikan jangkar dalam menilai aspek non-pedagogis yang seharusnya masih menjadi bagian dari tanggungjawab guru dan sekolah terhadap para siswa.
Pendek kata, UN sebenarnya laksana jangkar kapal untuk bersandar, yang dihempaskan kelaut dan membuat kapal tak bisa bergerak maju kecual bergoyang ditempat. Padahal jika jangkar dilepas dan mesin dihidupkan, maka kapal dan seluruh isinya akan tersadar betapa luasnya laut biru dengan gelombang dan ombak yang akan selalu menguji seluruh isi kapal. Menikmati dentum dan deburan ombak sesungguhnya sebuah proses alamiah yang seharusnya bisa dinikmati oleh seluruh awak kapal. Itulah makna sejati pendidikan sebagai sebuah proses yang tiada akhir.