Tulisan berikut ini adalah makalah yang pernah disampaikan dalam seminar tentang sertifikasi guru di Universitas Negeri Semarang (Unnes). Makalah tersebut ditulis oleh Anirotul Qori’ah, dosen di Unnes dan sekarang juga sedang menempuh pendidikan Pasca Sarjana pada Program Manajemen Pendidikan di Unnes.
Bila tulisan ini ingin dikutip sebagai referensi karya ilmiah, silahkan dikutip dan sitasi dituliskan sebagai berikut:
Qori’ah, A., 2008. Sertifikasi guru dalam jabatan: harapan dan rasa keadilan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Strategi Sertifikasi Menuju Profesionalitas Guru, Dosen, dan Tenaga Kependidikan”, dalam rangka Dies Natalis Universitas Negeri Semarang ke-43, 1 Maret 2008, di Semarang.
Semoga bermanfaat.
SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN: Harapan dan Rasa Keadilan
Anirotul Qori’ah 1) 2)
1) Jurusan PJKR, Fakultas Ilmu Keolahragaan, UNNES
2) Mahasiswa pada Program Manajemen Pendidikan, Pascasarjana, UNNES
Abstrak
Program sertifikasi guru adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas guru serta memperbaiki kondisi guru di Indonesia. Dengan program tersebut harapkan dalam waktu 10 tahun guru-guru di Indonesia akan menjadi guru-guru lulus sertifikasi, dan kita akan mendapatkan guru-guru yang profesioal dalam bidang kompetensinya. Sertifikasi dilakukan melalui penilaian portofolio yang memiliki 10 komponen penilaian, yaitu kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengelaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial; dan penghargaan yang relevan dengan bidang kependidikan. Analisis kritis terhadap komponen-komponen tersebut telah dilakukan dan hasilnya menunjukkan adanya upaya yang kuat untuk meningkatkan kualitas guru yang tercerminkan dalam berbagai hal yang dituntut dari para guru yang disebutkan di dalamnya. Namun demikian, persoalan tidak mudah. Perbedaan kemajuan pembangunan di Indonesia telah menyebabkan perbedaan fasilitas dan kesempatan yang tersdia antara kota-kota besar dan daerah-daerah terpencil. Perbedaan tersebut menyebabkan perbedan beban yang dirasakan para guru. Guru-guru daerah terpencil harus menghadapi tantangan yang jauh sangt berat dibandingkan guru-guru di kota-kota besar atau yang dekat dengannya. Kondisi seperti itu dapat menimbulkan rasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah. Undang-undang Guru dan Dosen adalah suatu keputusan politik, oleh karena itu, persolan tersebut hendaknya juga diatasi dengan upaya politik.
Kata kunci: Undang-undang Guru dan Dosen, sertifikasi, portofolio, kualitas guru, daerah terpencil
1. PENDAHULUAN
Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah adalah meningkatkan kualitas guru dan dosen, serta memperbaiki kondisi guru dan dosen. Usaha tersebut tidak dilakukan secara langsung melalui pendidikan tambahan atau memberikan gaji yang tinggi kapada guru dan dosen, melainkan dengan cara tidak langsung, yaitu menebitkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) yang menghendaki agar guru dan dosen mendapat sertifikasi pendidikan. Menurut Prof. Udin Saripudin Wirasaputra, latarbelakang munculnya UU Guru dan Dosen adalah kondisi sebagian guru dan dosen di Indonesia saat ini yang masih kurang terlatih, kurang terdidik, tidak dihargai, kurang mendapat perlindungan serta tidak terkelola dengan baik (Anonim-MI, 2007).
UU Guru dan Dosen adalah suatu keputusan politik yang menyatakan bahwa pendidik adalah pekerjaan profesional yang berhak mendapatkan hak-hak dan kewajiban profesional (Jalal, 2007). Keputusan itu tentu diterapkan untuk seluruh guru dan dosen di Indonesia. Kita semua mengetahui bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas dengan pulau yang sangat banyak, dan dengan tingkat kemajuan sosial yang tidak merata. Penerapan undang-undang tersebut tentu akan dirasakan oleh para guru di berbagai daerah dengan tingkat beban yang berbeda. Hal tersebut dapat menimbulkan rasa ketidak-adilan karena pemberlakuan tuntutan yang sama sementara kondisi lingkungan berbeda. Makalah ini akan mencoba memberikan pandangan kritis tentang harapan dan rasa ketidak-adilan yang dapat timbul dari pelaksanaan sertifikasi.
2. SERTIFIKASI BAGI GURU DALAM JABATAN
2.1. Peraturan Menteri
Berkaitan dengan Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan telah dikeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2007 tentang sertifikasi bag guru dan dosen dalam jabatan. Peraturan Menteri itu terdiri dari 8 pasal.
Tabel 1 memberikan kutipan sebagian dari peraturan menteri tersebut.
2.2. Portofolio
Menurut Buku Panduan Penyusunan Portofolio Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Tahun 2007 (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2007), portofolio adalah bukti fisik (dokumen) yang menggambarkan pengalaman berkarya/prestasi yang dicapai dalam melakukan tugas profesional sebagai guru dalam interval waktu tertentu. Dokumen itu terkait dengan unsur pengalaman, karya, dan prestasi selama guru yang bersangkutan menjalankan peran sebagai agen pembelajaran (kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial).
Lebih jauh dijelaskan bahwa fungsi portofolio dalam sertifikasi guru (khususnya guru dalam jabatan) adalah untuk menilai kompetensi guru dalam menjalankan tugas dan peranannya sebagai agen pembelajaran. Selain itu, portofolio juga berfungsi sebagai: (1) alat bukti unjuk kerja yang meliputi produktifitas, kualitas, dan relevansi melalui karya-karya utama dan pendukung, (2) informasi/data dalam memberikan pertimbangan tingkat kelayakan kompetensi guru berdasarkan standar yang ditetapkan, (3) dasar penentuan kelulusan seorang guru yang mengikuti sertifikasi, dan (4) dasar memberikan rekomendasi bagi peserta yang belum lulus.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 18 Tahun 2007 tentang sertifikasi bagi guru dalam jabatan menyebutkan adanya sepuluh komponen portofolio yang hasur dipenuhi oleh para guru agar lulus sertifikasi.
Tabel 2 memberikan penjelasan tentang komponen-komponen tersebut.
3. SERTIFIKASI DAN KUALITAS GURU
Salah satu tujuan dari sertifikasi guru adalah untuk meningkatkan kualitas guru. Upaya untuk mencapai tujuan tersebut dapat kita lihat dari berbagai hal berikut:
1) Peraturan Menteri, pasal 1 ayat 2, tentang kualifikasi akademik bagi guru dalam jabatan yang boleh mengikuti sertifikasi, yaitu memiliki kualifikasi sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV). Ketentuan ini akan mendorong para guru yang berpendidikan belum sarjana atau diploma empat melanjutkan pendidikannya agar memenuhi kualifikasi tersebut. Diharapkan bahwa peningkatan kualifikasi pendidikan akan meningkatkan kualitas guru.
2) Komponen portofolio ke-2: Pendidikan dan pelatihan dalam rangka pengembangan dan peningkatan kompetensi. Komponen ini akan mendorong para guru untuk mencari atau maraih kesempatan pendidikan dan pelatihan.
3) Komponen portofolio ke-3: perencanaan dan pelaksanan pembelajaran. Komponen ini akan mendorong para guru untuk melaksanakan perencanaan pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran yang baik dan mendokumentasikannya. Dalam proses sertifikasi, nilai komponen ini diambil dari karya terbaik yang pernah dilakukan. Dengan hal ini diharapkan para guru terus berusaha melakukan yang terbaik.
4) Komponen portofolio ke-5: Penilaian dari atasan dan pengawas terhadap kompetensi kepribadian dan sosial. Terlepas dari bagaimana penilaian dilakukan, secara teoritis, penilaian yang hasilnya berdampak langsung akan memberikan pengaruh bagi yang dinilai. Dengan komponen portofolio ini diharapkan para guru akan selalu menjaga dan meningkatkan kompetensi kepribadian dan sosialnya.
5) Komponen portofolio ke-6: Prestasi akademik yang dicapai guru. Komponen ini akan mendorong para guru untuk ikut aktif dalam berbagai aktifitas lomba dan karya akademik, pembimbingan sejawat, dan pembimbingan siswa dalam kegiatan ekstra kurikuler.
6) Komponen portofolio ke-7: Karya pengembangan profesi. Komponen ini akan mendorong para guru untuk aktif berkarya dalam berbagai bidang yang dinilai.
7) Komponen portofolio ke-8: Keikutsertaan dalam forum ilmiah. Komponen ini akan mendoron para guru untuk ikut aktif dalam berbagai forum ilmiah, baik sebagai pemakalah maupun peserta. Sebagaimana kita ketahui, forum ilmiah merupakan salah satu sarana untuk berkomunikasi, tukar menukar informasi, mendapatkan ilmu dan pengetahuan, mengetahui perkembangan mutakhir suatu suatu ilmu, dan membina jaringan. Dengan aktif dalam forum ilmiah diharapkan para guru dapat mengikuti perkembangan ilmu atau aktifitas yang berkaitan dengan bidang tugasnya masing-masing.
8) Komponen portofolio ke-9: Pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial. Komponen ini akan mendorong para guru untuk aktif dalam berbagai organisasi kependidikan dan sosial dan selalu berupaya untuk berperanan aktif.
9) Komponen portofolio ke-10: Pengakuan yang relevan dengan bidang pendidikan. Komponen ini akan mendorong para guru untuk bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas.
Dari berbagai komponen portofolio tersebut di atas terlihat bahwa bila tujuan sertifikasi tercapai, maka kita akan melihat bahwa seorang guru yang lulus sertifikasi adalah sosok guru yang profesional dalam bidang yang menjadi kompetensinya, yang mampu melakukan prencanaan dan melaksanakan pembelajaran dengan baik, yang aktif dalam berbagai bidang kegiatan yang relevan, mampu berkomunikasi dengan baik, dan berprestasi. Itulah sosok guru yang didambakan akan dicapai melalui kegiatan sertifikasi.
4. SERTIFIKASI DAN RASA KEADILAN (PROBLEM DAERAH TERPENCIL)
Uraian di atas menunjukkan bahwa tujuan sertifikasi guru sangat baik. Namun demikian, dalam pelaksanaannya program sertifikasi itu dapat menimbulkan rasa ketidak-adilan bagi guru-guru di daerah atau di daerah terpencil yang jauh dari berbagai fasilitas dan aktifitas kota. Bagi guru-guru yang berada di kota besar atau dekat dengan kota besar dan/atau dekat dengan institusi pendidikan dan/atau penelitian, kondisi lingkungan sekitarnya sangat mendukungnya bagi pemenuhan tuntutan berbagai komponen portofolio itu. Sebalinya, bagi guru-guru di daerah dan di daerah terpencil yang jauh dari semua yang disebutkan sebelumnya itu, tentu akan sangat sulit untuk memenuhi tuntutan komponen portofolio itu. Kesulitan tersebut bukan karena pribadi seorang guru tidak mampu untuk memenuhi semua tuntutan itu, melainkan karena kondisi lingkungan tempat keberadaannya yang tidak menyediakannya yang guru itu sendiri tidak mampu mengatasinya. Keadaan yang timpang seperti itu, yang terjadi kerena perbedaan kondisi lingkungan, akan memunculkan rasa diperlakukan secara tidak adil oleh pemerintah. Secara sederhanapun kita dapat melihat kemungkinan itu. Kita dapat menganalogikannya seperti orang yang menanam dua pohon sejenis di lahan yang berbeda tingkat kesuburannya namun menghendaki kedua pohon itu menghasilkan buah yang sama banyak maupun kualitasnya. yaitu seperti menanam dua jenis pohon yang sama di dua lahan yang berbeda.
Berikut ini adalah tinjauan singkat atas peraturan menteri dan komponen-komponen portofilio yang menimbulkan kesulitan bagi guru-guru yang tinggal di daerah atau di daerah terpencil:
1) Peraturan Menteri, pasal 1 ayat 2, tentang kualifikasi pendidikan yang harus sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV). Sangat tidak mudah bagi para guru di daerah yang jauh dari kota atau institusi pendidikan atau para guru di daerah terpencil yang belum memenuhi kualifikasi untuk memenuhi kualifikasi. Tidak ada institusi pendidikan yang tersedia di daerah yang jauh dari kota besar atau daerah terpencil.
2) Komponen portofolio ke-2: Pendidikan dan pelatihan. Sangat tidak mudah bagi para guru di daerah yang jauh dari kota atau institusi pendidikan atau para guru di daerah terpencil untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan kompetensinya. Seperti halnya institusi pendidikan, tidak ada pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan di daerah yang jauh dari kota atau di daerah terpencil.
3) Komponen portofolio ke-6: Prestasi akademik yang meliputi lomba dan karya akademik, pembimbingan sejawat, dan pembimbingan siswa dalam kegiatan ekstra kurikuler. Komponen ini secara umum sangat sulit diperoleh para guru di daerah yang jauh dari kota atau institusi pendidikan atau para guru di daerah terpencil yang jauh dari kecamatan (tingkat pengakuan lomba yang paling rendah).
4) Komponen portofolio ke-7: Karya pengembangan profesi. Komponen ini sulit dilakukan di daerah yang jauh dari kota atau di daerah terpencil. Peluang yang dapat diraih terbatas pada penembangan media/alat pembelajaran dan laporan penelitian tindakan kelas meskipun juga dengan fasilitas yang sangat terbatas.
Kesulitan-kesulitan atau kendala-kendala yang dihadai oleh para guru di daerah yang jauh dari kota atau institusi pendidikan atau para guru di daerah terpencil tidak hanya dalam pemenuhan tuntutan dari komponen-komponen portofolio itu. Kesulitan juga dihadapi mereka dalam hal penyusunan dokumen portofolio sepeti yang disebutkan dalam instrumen sertifikasi guru (Direktorat Profesi Pendidik, 2007). Kesulitan-kesulitan itu antara lain:
1) Foto kopi dokumen. Jasa foto kopi dokumen sulit didapatkan di daerah yang jauh dari kota, apalagi di daerah-daerah terpencil. Sementara itu terdapat ketentuan bahwa dokumen harus dibuat rangkap dua, dan berbagai bukti fisik yang berupa ijazah, sertifikan atau lainnya perlu juga difotokopi.
2) Kesulitan penjilidan dokumen dengan pembatas kertas berwarna pada setiap komponen. Jasa penjilidan hanya mudah dijumpai di kota-kota besar dan daerah-daerah yang dekat dengan institusi pendidikan tinggi.
3) Legalisasi ijazah/akta oleh perguruan tinggi yang mengeluarkan. Sangat besar biaya dan kesulitan yang dihadapi oleh guru-guru dari daerah terpencil untuk melegalisir ijazah/aktanya.
4) Kesulitan pengetikan dokumen. Untuk daerah terpencil, masalah pengetikan akan terasa sekali. Jangankan komputer, mesin ketik manual pun mungkin tidak tersedia.
Bagi para guru di daerah yang jauh dari kota atau institusi pendidikan atau para guru di daerah terpencil, andaikan mereka berhasil membuat dokumen portofolio dan mengajukannya untuk penilaian sertifikasi, belum tentu atau masih besar kemungkinan bagi mereka untuk tidak lulus. Pada bagian penilaian portofolio, mereka hanya akan mendapat nilai atau skor nilai rendah karena prestasi-prestasi mereka umumnya hanya tingkat yang paling rendah dari kemungkinan penilaian (prestasi tingkat kecamatan). Sulit kita membayangkanguru-guru di daerah-daerah yang jauh dari kota atau di daerah-daerah terpencil untuk mengikuti kegiatan sampai tingkat kabupaten/kota, propinsi, nasional, apalagi internasional. Selain itu kita juga tahu bahwa kualitas sekolah-sekolah di daerah yang jauh dari kota besar juga rendah, apalagi di daerah terpencil. Keadaan itu juga memperkecil peluang guru untuk lulus sertifikasi.
Bagaimaan bila mereka tidak lulus sertifikasi? Dengan kondisi lingkungan yang tidak mendukung, sulit bagi para guru itu untuk melakukan kegiatan-kegiatan untuk melengkapi dokumen portofolio, atau mengikuti pendidikan dan pelatihan seperti yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Nomor 18 Tahun 2007 pasal 2 ayat 5 poin a dan b.
5. BAGAIMANA JALAN KELUARNYA?
Kita telah sama-sama mengatahui bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah pulau yang sangat banyak. Dengan kondisi seperti ini, dapat kita bayangkan bagaimana penyebaran para guru dan kondisi lingkungan mereka. Uraian-uraian di atas juga telah memberikan gambaran tentang problem guru-guru di daerah terpencil. Harus kita akui bahwa ada masalah rasa ketidak-adilan, dan tidak mudah menyelesaikan masalah rasa ketidak-adilan yang timbul menyertai program sertifikasi ini.
Sebagaimana juga telah disebutkan di depan bahwa UU Guru dan Dosen itu adalah suatu keputusan politik untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Dengan demikian, seirama dengan undang-undang tersebut, persoalan yang muncul hendaknya juga diselesaikan dengan keputusan politik juga. Umpamanya, pada tingkat kabupaten dapat diadakan sat unit kerja khusus yang bertugas melayani dan membantu para guru di daerah-daerah yang jauh dari kota atau di daerah terpencil. Struktur organisasi dan pola kerjanya dapat meniru Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) dalam melayani kesehatan penduduk. Dikehendaki unit-uit kerja tersebut aktif mendatangi para guru yang membutuhkan bantuan itu untuk membantu mempersiapkan dokumen portofolio, atau memberikan bantuan biaya dan kesempatan untuk mengikuti berbagai kegiatan di berbagai tingkat, dan lain sebagainya yang dirasa perlu.
6. KESIMPULAN
Dari urian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1) Secara konseptual, program sertifikasi sangat baik untuk meningkatan kualitas guru-guru di Indonesia secara umum dari kondisi yang sekarang ada.
2) Kondisi nyata di Indonesia adalah bahwa tingkat pembangunan atau kemajuan belum merata sehingga terdapat perbedaan kondisi lingkunag tempat guru-guru berada.
3) Harus diakui bahwa terdapat perbedaan kondisi lingkungan antara kota besar dan kota kecil, antara daerah yang mempunyai atau dekat dengan segara fasilitas dengan daerah yang jauh atau daerah terpencil. Perbedaan kondisi lingkungan itu menyebabkan beban yang dirasakan lebih berat oleh guru-guru di daerah yang jauh dari fasilitas dari pada yang dekat dengan fasilitas itu.
4) Undang-undang Guru dan Dosen adalah suatu keputusan politik, karena itu persoalan yang terkait dengannya juga harus diselesaikan dengan keputusan politik pula.
7. REFERENSI
Anomin-MI, 2007. Sertifikasi Guru dan Dosen Mutlak. Media Indonesia 24 Januari 2007. [http://www.sfeduresearch.org/content/view/111/666/lang,id/]. Akses: 23 Februari 2008.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2007. Panduan Penyusunan Perangkat Portofolio Sertifikasi Guru Dalam Jabatan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Direktorat Profesi Pendidik, 2007. Instrumen Sertifikasi. Direktorat Proesi Pendidik, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan. [http://sertifikasiguru.org/uploads/File/instrument/sertifikasiguru_dalamjabatan_07.pdf]. Akses: 24 Februari 2008.
Jalal, F., 2007. Sertifikasi guru untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu. Makalah disampaikan pada seminar pendidikan yang diselenggarakan oleh PPS Unair, 28 April 2007 di Surabaya.