Sebulan lebih saya sakit. Beberapa diskusi dan musyawarah yang harus saya ikuti, akhirnya saya nikmati dengan berbaring dan berdiri. Tetap berdiskusi, tapi tidak sebagaimana biasanya. Sebuah nikmat yang indah. Nikmat tentang tekad dan kemauan keras, lebih berharga daripada bakat dan kemampuan cerdas.
Kemauan yang keras membuat sakit tak begitu terasa, meski setelah tiba di rumah, sakit itu terasa lebih dahsyat. Sebabnya, berkurangnya rasa sakit saat sedang asyik berdiskusi bukan karena sakit itu yang hilang, tetapi tertutupi.
Sama halnya dengan masalah yang kita hadapi, sangat berbeda antara menyelesaikan masalah, dengan menganggap tidak ada masalah dan menutup mata darinya. Sangat berbeda juga antara waktu yang berkualitas untuk anak kita, dengan ungkapan kita yang berkilah bahwa pertemuan antara orangtua dan anak “yang penting kualitasnya, bukan kuantitasnya”.
Khusus tentang waktu berkualitas ini, saya rasakan betul maknanya selama sakit.
Saya punya lebih banyak waktu di rumah, tetapi tak bisa bercanda dengan anak-anak dengan penuh kegembiraan. Saya bersama mereka, tetapi rasanya tidak bisa membersamai mereka.
Banyak orangtua punya banyak waktu di rumah, tetapi anak-anak tak merasakan kehadirannya. Mereka banyak melakukan kegiatan bersama-sama, tetapi tanpa kebersamaan.
Mereka sama-sama memelototi TV, di tempat yang sama, tetapi pikirannya sibuk sendiri-sendiri. Mereka duduk saling berdekatan, tetapi tidak menjalin kedekatan. Sama seperti penumpang bus antar kota. Duduk berdampingan dari Surabaya ke Jakarta, tetapi sampai di tempat tujuan tidak saling kenal. Sebabnya, mereka hanya saling dekat secara fisik (physical closeness), bukan dekat secara emosi (attachment).
Pentingnya Kedekatan
Hasil-hasil riset menunjukkan, secure attachment (kedekatan emosi yang aman) antara anak dan orangtua, sangat berpengaruh terhadap penerimaan diri, harga diri, dan percaya diri anak nantinya. Sementara percaya diri sangat berpengaruh terhadap kecakapan untuk menyesuaikan diri secara tepat dengan lingkungan dan kemampuan bersikap tegas.
Anak-anak yang percaya dirinya rendah cenderung mudah dipengaruhi oleh lingkungan, termasuk pengaruh yang paling buruk. Mereka kurang berani bersikap tegas karena khawatir kehilangan teman atau takut menghadapi ancaman.
Selain itu, anak-anak yang percaya dirinya rendah juga cenderung kurang mampu belajar dengan baik. Mereka mungkin memiliki IQ yang tinggi, tetapi tidak memiliki sense of competence (kesadaran tentang kemampuan) yang baik sehingga merasa tidak mampu. Mereka tidak memiliki efikasi diri yang kuat, sehingga cenderung mudah surut langkah ketika menghadapi kesulitan.
Sementara ketika berhasil melakukan pekerjaan dengan baik, mereka tidak memiliki keyakinan bisa melakukan hal yang sama di lain waktu atau menganggapnya sebagai hal biasa yang tak bermakna. Apa artinya? Selain mencerdaskan otaknya, salah satu bekal yang harus kita berikan kepada anak-anak kita adalah kedekatan emosi yang hangat.
Mereka bahagia jika berdekatan dengan kita, bukan karena uang yang kita berikan, tetapi karena waktu yang kita luangkan untuk bercanda dan berbincang bersama mereka. Mereka rindu kepada kita tatkala saling berjauhan, bukan karena menanti sekeranjang oleh-oleh yang menggugah selera, tetapi karena mengharap pertemuan yang mengalir di dalamnya nasihat bersahabat.
Kedekatan yang hangat juga membuat anak-anak lebih mendengar kata-kata kita. Secara alamiah, kita cenderung mempercayai dan mengikuti orang yang dekat di hati. Orang baik itu lebih berpengaruh daripada orang pintar. Kadang manusia rela mengorbankan akal sehat karena mengikuti apa yang tampaknya baik.
Kedekatan itu lebih terasa lagi pengaruhnya ketika anak-anak kita beranjak remaja. Kepada siapa mereka mencurahkan isi hati, mengungkapkan masalah dan mencari jalan keluar dari persoalan hidup yang dihadapi, sangat dipengaruhi oleh kedekatan emosi mereka. Mereka tak akan mencari orangtuanya ketika menghadapi masalah jika tidak ada kedekatan emosi yang kuat. Mereka hanya akan mempercayakan masalahnya kepada orang yang dirasakannya bisa menjadi sahabat dan sekaligus memiliki kredibilitas untuk menjaga harga diri dan memecahkan masalah.
Masalahnya adalah, kita hampir tidak mungkin membangun kepercayaan pada diri mereka jika tidak ada kedekatan emosi di masa kecil mereka. Mereka mungkin tetap hormat kepada kita, tetapi bukan percaya.
Agar kita bisa lebih dekat dengan anak-anak, tidak bisa tidak kita harus secara sengaja meluangkan waktu buat mereka. Sekadar memiliki waktu bersama mereka, tidak dengan sendirinya membuat kehadiran kita berarti. Bersama-sama melakukan kegiatan bersama mereka, hanya akan bermakna jika anak-anak merasakan perhatian dan cinta kita.
Kita mungkin sering mengatakan kepada mereka betapa kita sangat menyayangi mereka. Masalahnya, apakah mereka merasa kita sayangi? Sama seperti waktu kita bersama mereka, apakah mereka merasakan betul bahwa kita meluangkan waktu untuk mereka ataukah kebetulan saja saat ini kita bersama anak-anak?
Ketika Bersama Anak-anak
Sungguh, sangat berbeda mempunyai waktu bersama anak dengan meluangkan waktu untuk mereka! Apa yang kita lakukan dengan waktu kita bersama anak?
Pertama, menjalin kedekatan dengan mereka. Bercermin pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita melihat betapa hangat hubungan Rasulullah dengan anak; dengan putrinya, cucunya, maupun dengan anak-anak kecil lainnya.
Rasulullah pernah bermain kuda-kudaan dengan cucunya, memanjangkan sujudnya tatkala Al-Husain menaiki punggungnya, menyapa akrab anak-anak kecil yang sedang asyik bermain, bercanda dengan mereka, atau menghamparkan surbannya ketika Fathimah Az-Zahra datang. Padahal ketika itu Fathimah sudah dewasa. Bahkan sudah berputra.
Kedua, membangun kredibilitas kita sebagai orangtua. Karena setiap hari anak-anak melihat kita, membangun kredibilitas sebagai orangtua justru jauh lebih sulit dibanding membangun kredibilitas sebagai guru di sekolah. Sama sulitnya dengan pengasuh asrama yang setiap hari mendampingi anak. Sedikit saja melakukan kesalahan, anak-anak segera merekam di alam benaknya.
Salah satu cara membangun kredibilitas adalah dengan cara berkata yang benar. Kuatnya kredibilitas akan membangkitkan kepercayaan. Sebaliknya jika runtuh, bisa menjadikan anak kehilangan rasa hormat terhadap orangtua.
Khusus berkenaan dengan rasa hormat ini, sebagaimana kepercayaan dan kredibilitas, orangtua perlu saling membantu. Ibu mengajari anak untuk hormat dan patuh kepada ayah, sebaliknya ayah membimbing anak untuk sayang dan taat pada ibu. Ayah berkewajiban untuk menanamkan kepada anak agar menghormati ibu lebih daripada ayah.
Hal yang sama juga berlaku antara orangtua dan guru. Orangtua mengajarkan kepada anak agar hormat dan mendengarkan apa kata guru. Sementara guru bertugas membangun kredibilitas orangtua sekaligus menghormati dan mentaatinya.
Ketiga, membangun keyakinan, arah hidup, dan cita-cita ideologis anak. Tidak penting kelak mereka akan menjadi apa, asalkan semuanya dalam kerangka mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan proses pembentukan visi hidup ini berlangsung selama mereka asyik bercanda dan berbincang dengan kita.
Keempat, mengajarkan aturan hidup. Agama ini akan mereka rasakan jika perannya mereka jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menjumpai aturan agama pada situasi apa pun serta dalam urusan apa pun. Artinya, agama hadir bukan hanya dalam shalat dan ibadah ritual lainnya, tetapi dalam seluruh aspek kehidupan. Melihat agama hanya dalam urusan ibadah adalah cara berpikir sekuler. Wallahu a’lam bishshawab.*