Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari
Termasuk dari prinsip ‘qiqah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama'ah: Mereka berpendapat bahwa wajib taat kepada pimpinan Muslimin selama mereka tidak menyuruh kepada kemaksiatan. Jika mereka menyuruh kepada kemaksiatan, maka tidak boleh taat kepada mereka dan ketaatannya hanya berlaku dalam masalah kebaikan bukan kemaksiatan. Berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri di antara kamu : Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dna lebih baik akibatnya." (An-Nisa' : 59)
Dan juga berdasarkan sabda Rasulullah saw. "Barang siapa taat kepadaku, maka berarti ia telah taat kepada Allah, dan barang siapa mendurhakaiku, maka berarti ia telah durhaka kepada Allah. Barang siapa taat kepada pimpinannya, maka berarti ia telah taat kepadaku. Dan barang siapa yang durhaka kepada pimpinannya, maka berarti ia telah durhaka kepadaku." (Muttafaq ‘alaih).[1]
Dan sabdanya, "Dengarkan dan taatilah (pimpinanmu)! Walaupun yang berkuasa atas kalian adalah seorang hamba Habasyi (kulit hitam); yang seakan-akan kepalanya seperti kismis." (HR. Al-Bukhari).[2]
Sabdanya pula, "Engkau dengarkan dan taati pemimpin (mu)! Walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, maka dengarkan dan taatilah!" (HR. Muslim)[3]
Dan sabdanya, "Barangsiapa benci kepada suatu (tindakan) dari pimpinannya, maka hendaknya ia bersabar. Karena sesungguhny atida seorang pun dari manusia yang keluar sejengkal saja dari pimpinannya kemudian ia mati dalam keadaan demikian melainkan dia mati dalam keadaan mati jahiliyah." (HR. Muslim)[4]
Ahlus Sunnah wal Jama'ah berpandangan bahwa taat kepada Ulum Amri dalam kebaikan merupakan salah satu prinsip penting dalam ‘aqidah. Dan dari sinilah para ulama salaf memasukkannya dalam kategori masalah ‘aqidah. Dan hampir tidak ada buku-buku tentang aqidah yang tidak mencantumkan tentang hal ini, menerangkan dan menjelaskannya. Taat kepada Ulil Amri merupakan kewajiban bagi setiap muslim secara syar'i. Karena hal itu merupakan pondasi yang pokok dalam mewujudkan ketertiban dalam negara Islam.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah berpandangan pula bahwa shalat (lima waktu), shalat Jum'at dan shalat Iedain (dua hari raya, Idul Fitri dan Idul Adha) dilakukan bersama para pemimpin, menyuruh yang ma'ruf dan mencegah yang munkar, jihad dan haji bersama mereka baik, mereka (Ulil Amri) itu orang baik maupun jahat. Dan mendo'akan [5] mereka dengan kebaikan dan istiqamah serta memberikan nasehat [6] kepada mereka jika zhahirnya baik.
Ahlus Sunnah mengharamkan keluar dari kepemimpinan mereka (memberontak) dengan pedang jika mereka berbuat dosa selain kekufuran. Hendaknya sabar jika terjadi hal tersebut,
karena Nabi saw memerintahkan agar taat kepada mereka dalam hal selain maksiat, selama tidak melakukan kekufuran yang nyata. Mereka tidak boleh diperangi dalam kondisi ada fitnah, namun diperbolehkan untuk memerangi siapa yang hendak memecah belah persatuan ummat.
Nabi saw bersabda, "Sebaik-baik pemimpinmu adalah pemimpin yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian; mereka mendo'akan kalian dan kalian mendo'akan mereka. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci dan mereka membenci kalian, yang kalian laknat dan mereka melaknat kalian." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang?" Beliau menjawab, "Tidak, selama mereka mendirikan shalat. Dan jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian tidak sukai, maka bencilah perbuatannya (saja); dan janganlah keluar dari ketaatan kepadanya." (HR. Muslim). [7]
Nabi saw bersabda, "Sesungguhnya akan diangkat atas kalian pemimpin-pemimpin, maka ada yang kalian akui dan ingkari. Barang siapa membecinya maka ia telah terbebas. Dan barangsiapa mengingkari (perbuatannya) maka ia telah selamat, namun barangsiapa yang rela dan mengikutinya (maka tidak selamat)." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka?" Beliau menjawab, "Tidak, selama mereka mendirikan shalat."[8] (HR. Muslim).[9]
Adapun taat kepada mereka dalam kemaksiatan, maka tidak boleh; sebagai perwujudan dari Sunnah yang telah melarang hal tersebut. Nabi saw bersabda, "Bagi setiap orang muslim harus mendengar (ucapan) dan taat (perintah pimpinannya) baik yang dia sukai maupun dia benci; selama dia diperintah dengan maksiat. Jika diperintah (berbuat) kemaksiatan, maka tidak boleh mendengarkan maupun mentaatinya." (HR. Al-Bukhari). [10]
Dan juga beliau bersabda, "Tiada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah; sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan." (Muttafaq ‘alaihi)[11]
Seorang pemimpin itu hendaknya bertakwa kepada Allah dalam memimpin rakyatnya, dan hendaknya dia tahu bahwa pemimpin adalah seorang yang dipekerjakan oleh Allah Ta'ala untuk mengurusi rakyatnya, melayani agama Allah dan syari'atnya serta melaksanakan hukum Nya secara umum maupun khusus. Dan hendaknya menjadi pemimpin yang kuat demi menegakkan (agama) Allah, dia tidak takut cacian dari orang yang mencaci, jujur terhadap rakyat, agama, darah, harta benda, kehormatan, keamanan, kemaslahatan dan akhlaknya. Tidak boleh balas dendam karena kepentingan dirinya semata, namun marahnya karena Allah Ta'ala.
Nabi saw bersabda, "Tiada seorng hamba yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian dia wafat dan dalam keadaan menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan baginya (masuk) surga." (HR. Muslim)[12]
Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy (Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm.189 -196. [1] HR. Al-Bukhari no.2957, 7137 dan Muslim no. 1835 (32) dari Sahabat Abu Hurairah.
[2] HR. Al-Bukhari no.693, 696, 7142 dan Ibnu Majah no.2860 dari sahabat Anas.
[3] HR. Muslim no. 1847 (52) dari sahabat Hudzaifah bin al-Yaman.
[4] HR. Muslim no.1849 (52) dari Sahabat Ibnu ‘Abbas
[5] mendo'akan para pemimpin dengan kebaikan, dan hidayah dan istiqamah adalah termasuk cara yang ditempuh Salafush Shalih. Imam al-Fudhail bin ‘Iyadh ra berkata : "Seandainya saya mempunyai do'a yang mustajab pasti tidak akan saya panjatkan kecuali hanya untuk pemimpin. Kita diperintahkan agar mendo'akan kebaikan bagi mereka dan kita tidak diperintahkan untuk mendo'akan keburukan bagi mereka, walaupun mereka jahat dan zhalim. Karena kezhaliman dan kejahatannya hanya akan menimpa diri mereka sendiri. Sedang kebaikan mereka untuk dirinya sendiri dan kaum Msulimin." Hal tersbut karena kebaikan mereka itu akan (berdampak) baik pula bagi ummat. Al-Hasan al Bashri ra berkata : "Ketahuilah mudah-mudahan Allah mengampuni anda bahwa kejahatan para pemimpin itu merupakan salah satu murka Allah Ta'ala, dan murka Allah itu tidak dapat dihadapi dengan pedang akan tetapi dicegah dan ditolak dengan do'a, taubat, kembali kejalan Allah, dan menjauhkan diri dari segala dosa. Sesungguhnya murka Allah itu, bila dihadapi dengan pedang maka murka tersebut akan lebih parah". Disebutkan, al-Hasan al Bashri pernah mendengar seseorang mendo'akan berdo'a dengan kejelekan yang ditujukan kepada al-Hajjaj. Maka beliau menegur : "Jangan berbuat demikian mudah-mudahan Allah selalu merahmati anda. Sesungguhnya apa yang menimpa diri kalian adalah karena perbuatan diri kalian sendiri. Sesungguhnya kami takut jika al-Hajjaj dicopot (dari jabatannya) atau wafat akan datang (pemimpin yang berwatak seperti) kera dan babi." Aadaab al Hasan al-Bashri, karangana Ibnul Jauzi hal.119
[6] Imam Nawawi ra berkata : "Adapun nasehat untuk para pemimpin kaum Muslimin adalah meonolong mereka dalam kebenaran, taat dan menyuruh dengan kebenaran, memperingatkan dan mengingatkan mereka dengan lemah lembut serta memberitahukan kepada mereka jika mereka lalai." Syarah Shahiih Muslim, Jilid I, hal.241
[7] HR. Muslim no.1855 (65), ad-Darimi no.2793, Ahmad (VI/24,28, dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitaabus Sunnah no.1071 dari Sahabat ‘Auf bin Malik al-Asyja'i. Dishalihkan oleh syaikh al-Albani dalam Kitaabus Sunnah Libni Abi Ashim wama'abu Zhilaalil Jannah fi Takbriijis Sunnah hal.501 dan Silsilatul Abaadiitsish Shahiihah no.907.
[8] Ketahuilah bahwa orang yang menjadi khalifah sedang manusia sepakat dan rela dengannya, atau dia menang atas mereka dengan pandangan sehingga dia menjadi pemimpin, maka wajib taat kepadanya dan haram keluar darinya. Imam Ahmad berkata, "Barang siapa menang atas pemerintahan dengan pedang sehingga dia menjadi seorang khalifah (pemimpin) yang dinamakan Amirul Mukminin; Maka haram bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian untuk melewati malamnya sedang ia tidak menganggapnya sebagai seorang pemimpin, baik dia orang shalih maupun jahat." (Al Ahkaam as-Sulthaaniyyah, oleh Abu Ya'la, hal.23)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata dalam kitabnya Fathul Baari (XIII/9): "Para ulama sepakat atas wajibnya taat kepada pemimpin yang memenangkan dan jihad bersamanya. Taat kepadanya lebih baik daripada keluar (membangkang) darinya; karena hal tersebut menyebabkan terjaganya (pertumpahan) darah dan ketenangan rakyat."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ra berkata: "Orang yang memberontak kepada pemimpin pasti menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada kebaikan akibat perbuatannya." Minhaajus Sunnah (XXII/241). Adapun pemimpin yang tidak mengindahkan syari'at Allah Ta'ala dan tidak berhukum dengannya bahkan berhukum dengna selainnya, maka dia telah keluar dari cakupan ketaatan kaum Muslimin. Maksudnya: yakni tidak ada lagi kewajiban untuk taat kepadanya. Hal tersebut karena dia telah menyia-nyiakan maksud tujuan kepemimpinannya yang untuk itulah dia diangkat dan mempunyai hak untuk didengar ucapannya dna ditati pemerintahan yang sah. Karena seorang penguasa tidak berhak mendapatkan itu semua melainkan karena dia mengerjakan urusan-urusan kaum muslimin dan memusihi musuh-musuh agama, jika ia tida menjaga agama atau tidak melaksanakan urusan kaum Muslimin, maka berarti hilanglah hak kepemimpinannya dan wajib bagi rakyat melalui Ahlul Halli wal ‘Aqdi berhak melakukan penilaian dalam masalah tersebut untuk menurunkan jabatannya dan mengangkat orang lain yang mampu merealisasikan tujuan pemerintahan. Maka Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak memperbolehkan keluar dari para pemimpin hanya di sebabkan kezhaliman dan kefasikannya saja karena kefajiran dan kezhaliman tidak berarti mereka menyia-nyiakan agama tapi yang mereka maksud adalah pemimpin yang berhukum dengan syariat Allah. Karena Salafush Shahih tidak mengenal suatu keamiran(kepemimpinan) yang tidak menjaga (norma-norma) agama, maka hal ini menurut pandangan mereka tidak disebut keamiran. Akan tetapi yang dinamakan keamiran itu adalah yang menegakkan agama, kemudian setelah itu terjadi keamiran itu adalah yang fajir. ‘Ali bin Abi Thalib ra berkata : "Merupakan suatu kezhaliman bagi manusia (mereka mempunyai) pemimpin yang baik dan adakalanya pemimpin yang fajir" beliau ditanya ; "Adapun pemimpin yang baik, kami telah mengetahuinya, tapi yang fajir?" Beliau menjawab "Selama jalan-jalan masih aman, hukum ditegakkan, musuh diperangi dan harta rampasannya dibagikan." (Dari kitab Minhaajus Sunnah oleh Ibnu Taimiyyah, (I/146).
[9] HR. Muslim no.1854 (63), Abu Dawud no.4760, 4761 dan at-Tirmidzi no. 2265 dari Ummu Salamah.
[10] HR. Al-Bukhari no.2955, 7144 dan Muslim no.1839 (38) dari Sahabat Ibnu Umar ra
[11] HR. Al-Bukhari no.4340, 7257, Muslim no.1840 Abu Dawud no.2625, an-Nasa'i VII/159-160 dan Ahmad (I/94) dari Sahabat Ali bin Abi Thalib ra.
[12] HR. Bukhari no.7150 dan Muslim no.142 (227) dari Sahabat Ma'qil bin Yasar.