JAKARTA, Aisyah Nur Kumalasari (17), siswi kelas XII IPA 1 SMAN 40 Pademangan, Jakarta Utara, rasanya patut diteladani atau diikuti oleh pelajar di Jakarta atau bahkan di Indonesia.
KOMPAS.com.Keluarganya yang tergolong miskin tak membuat Aisyah surut dalam menimba ilmu. Alhasil, gadis berparas ayu ini memetik hasilnya, yakni berhasil masuk perguruan tinggi di Universitas Indonesia tanpa melalui tes, tidak seperti calon mahasiswa lainnya.
Ya, nasib mujur saat ini tampaknya tengah berpihak pada warga Pademangan Timur VIII/5, RT 014/ RW 010, Pademangan, ini. Putri pasangan Bogi Saptono (46) dan Paryanti (40) ini berhasil melenggang ke kampus biru yang cukup bergengsi di negeri ini, Universitas Indonesia.
Menariknya, Aisyah berhasil masuk ke kampus itu tanpa harus bersusah payah seperti siswa lainnya, mengikuti berbagai macam tes. Tentu ini menjadi kebanggaan, baik bagi keluarga maupun tempatnya bersekolah, yakni SMAN 40 Jakarta. Kini anak seorang tukang ojek itu diterima di Fakultas Kesehatan Masyarakat Jurusan Ilmu Gizi.
Kedua orangtua Aisyah Nur Kumalasari (17), siswi kelas 12 IPA 1 SMPN 40 Pademangan, Jakarta Utara, tentu bangga dan berbesar hati menerima kenyataan bahwa anaknya diterima tanpa tes di salah satu universitas paling bergengsi di negeri ini, Universitas Indonesia. Namun, bagaimana dengan Aisyah sendiri?
"Alhamdulillah, saya sangat bersyukur, meskipun kondisi ekonomi orangtua tidak mampu, akhirnya saya diterima di UI tanpa harus melalui tes. Memang sudah cita-cita saya untuk membahagikan orangtua,” kata anak sulung dari pasangan Bogi Saptono (46) dan Paryanti (40) saat dijumpai di SMAN 40 Pademangan, Jalan Budi Kemuliaan, Pademangan, Rabu (31/3/2010).
Gadis belia yang akrab dipanggil Iis itu menuturkan, keseharian, ayahnya hanya seorang tukang ojek di wilayah Pademangan. Penghasilan ayahnya tidak lebih dari Rp 70.000 per hari.
Penghasilan itu hanya pas untuk biaya hidup sehari-hari, apalagi Paryanti, istri Bogi, hanya sebagai ibu rumah tangga biasa yang juga mengasuh seorang adik Aisyah bernama Jayanti Anisa Hapsari (5).
“Ya, mau gimana lagi, semua serba pas-pasan. Ayah orangnya tidak pernah mengeluh dengan situasi ekonomi, begitu juga ibu. Bahkan, ayah selalu menyemangati saya untuk terus belajar karena, dengan memiliki ilmu, jalan untuk sukses selalu ada,” kata gadis berparas cantik yang dikenal selalu ranking satu di kelasnya itu.
Berdasarkan rekam jejak di sekolahnya, sejak kelas satu, nilai rata-rata di rapornya adalah 8.
Yang membuatnya sedih adalah, kini penghasilan ayahnya dari mengojek menurun tajam karena ada proyek pemagaran jalan tembus menuju rel kereta api daerah Tanjung Priok. Kini penghasilan ayahnya itu tidak lebih dari Rp 50.000 per hari.
“Bapak bekerja pontang-panting demi keluarga. Saya tak ingin membuat bapak bersedih,” ujar gadis yang orangtuanya berasal dari Madiun dan Wonogiri ini. Oleh karenanya, dia bertekad untuk mewujudkan apa yang menjadi harapan orangtuanya.
Dalam kesehariannya, Aisyah tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana. Bahkan boleh dibilang, tempat tinggalnya di Pademangan Timur VIII/5, RT 014/ RW 010, yang didiami sejak kecil itu tidak layak huni. Bangunannya hanya berdindingkan tripleks dengan ukuran 2,5 x 8 meter dan berlantai semen.
Jika hujan, maka halaman rumahnya selalu digenangi air. Bahkan, jika ada kereta api lewat, maka dinding rumah selalu bergetar.
“Saya hanya berdoa, ya Allah, jangan sampai rumah ini rubuh,” kata Aisyah tersedu.
Maklum saja, jarak rumahnya dengan rel kereta api hanya 2,5 meter.
Saat ada Program Penelusuran Minat dan Kemampuan atau PMDK di Universitas Indonesia, Aisyah Nur Kumalasari (17) langsung mengikutinya.
Siswi kelas XII IPA 1 SMAN 40 Pademangan, Jakarta Utara, itu tidak sendirian. Ada 177 siswa kelas XII dari SMAN 40 Pademangan yang mengikuti program tersebut. Itu artinya, Aisyah harus bersaing dengan 176 orang temannya satu SMA.
Hasil seleksi menunjukkan, dari jumlah tersebut hanya empat siswa yang mendapat kesempatan mengikuti program PMDK dari UI. Dari kelas IPA ada Aisyah Nur Kumalasari dan Filda. Adapun dari kelas IPS ada Citra dan Anggun.
“Namun, dari tahap seleksi yang berhasil lolos masuk adalah Aisyah. Dia memang selalu juara kelas,” kata Endang Sri Astuti, Wakil Kepala SMAN 40 Pademangan.
Namun sayangnya, registrasi PMDK ini tidak masuk dalam program beasiswa 1000 Anak Bangsa karena dalam pengisian formulir Aisyah mencantumkan pendapatan orangtuanya dalam sebulan Rp 1 juta. Padahal, seharusnya pengisian tersebut kurang dari Rp 1 juta. Akibatnya, dia dikenakan biaya Rp 12 juta per semester. Tentunya dengan biaya tersebut, Bogi Saptono dan Paryanti—orangtua Aisyah—tidak akan mampu.
“Karena ini yang pertama kali untuk SMAN 40 Pademangan. Kalau Aisyah dapat program tersebut, dia hanya dikenakan biaya per semester Rp 100.000,” kata Endang didampingi Kepala SMAN 40 Pademangan Matalih.
Selanjutnya, pihak sekolah mengupayakan agar Aisyah masuk dalam program beasiswa bantuan operasional pendidikan berkeadilan yang diselenggarakan oleh UI. Akhirnya, Aisyah pun hanya dikenai biaya per semester Rp 900.000.
“Aisyah nanti tidak usah memikirkan uang semester kewajibannya itu karena pihak sekolah sudah menyediakan dana itu untuk biaya masuk. Aisyah harus bisa mempertahankan prestasinya agar beasiswanya berlanjut,” ungkap Endang.
Matalih sangat bangga dengan anak didiknya tersebut. Dia berharap keterbatasan ekonomi tidak harus menyurutkan apa yang ingin digapai. “Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan,” katanya berfilosofi.
Matalih berharap akan tumbuh tunas-tunas bangsa yang akan menjadi pelopor pembangunan di Indonesia ini. Bahkan, dia berjanji sekuat tenaga untuk mencarikan jalan keluar bagi siswa-siswa, terutama dari SMAN 40 ini, yang berbakat dalam menggapai pendidikan di perguruan tinggi. Semuanya itu demi terwujudnya tunas bangsa yang bermanfaat bagi negeri ini.