Jumat, 20 April 2012

Jakarta, Psikologi Zone – Stres bukan hanya dialami oleh orang dewasa, usia anak-anak juga rentan pada stres. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) sendiri telah menerima rata-rata 200 laporan kasus per bulan sepanjang tahun 2011, meningkat 98 persen dari tahun sebelumnya. Stres pada anak balita hingga usia sekolah dan remajadiketahui banyak sebab. Orang tua perlu untuk peka dan mengenali gejala stres yang mungkin dialami oleh anak mereka. Mengetahui gejala stres pada anak sejak dini dapat membantu orang tua menemukan solusi yang tepat bagi mereka. Setiap kelompok usia anak memiliki caranya sendiri dalam menunjukkan rasa frustasi atau stres yang mereka alami. Sensifitas orang tua dirasa perlu untuk mengetahui tanda-tanda anak mengalami stres. Hal ini diungkapkan oleh psikolog dan direktur Personal Growth Dra Ratih Ibrahim, MM, Selasa (20/3) di Jakarta. “Semakin muda usia anak, ia belum mempunyai kapasitas untuk bercerita mengungkapkan apa yang dirasakannya. Bahkan, untuk balita misalnya, ia belum memahami apa yang dinamakan stres. Yang paling berperan membantu anak mengenali tanda stres dan mengatasinya adalah orangtua,” jelasnya. Ratih menambahkan, ada sejumlah gejala yang bisa dijadikan patokan bagi orang tua dalam mendeteksi gangguan stres pada anak. Tanda-tanda ini meliputi karakteristik fisik, emosi dan psiko-sosial. Misalnya, anak terlihat lebih rewel, uring-uringan, kehilangan minat, pemarah, mudah tersinggung, menunjukkan sikap gelisah, kepercayaan diri luntur, bahkan menarik diri dari pergaulan. Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait dalam tempat yang sama menambahkan, anak stres bisa diketahui juga melalui menurunnya nilai akademis, mengigau, nafsu makan menurun, mimpi buruk dan menggertakan gigi. “Stres pada anak tidak datang dengan sendirinya, orangtua juga punya kontribusi yang membuat anak menjadi stres,” ungkap Arist. Gaya pengasuhan orang tua menjadi sangat penting bagi orang tua dalam menentukan sikap pada anak. Jangan sampai orang tua dalam menerapkan pola asuh, misalnya cenderung otoriter, mengabaikan, dan stimulasi yang salah.